Anggota DPR-RI partai PKS, M Nasir Djamil menyayangkan Presiden Jokowi yang tidak teliti saat menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Karen...
Anggota DPR-RI partai PKS, M Nasir Djamil menyayangkan Presiden Jokowi yang tidak teliti saat menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Karena disinyalir bisa membuat para koruptor kebal hukum.
Pasal 27 dalam Perppu yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona ternyata memberikan keistimewaan kepada pejabat tertentu untuk kebal hukum.
Padahal prinsipnya adalah "Equality Before The Law" atau setiap orang sama di hadapan hukum.
Nasir mengkritik ketentuan penutup Perppu yang cendrung menjadi alasan pembenar dilakukannya tindakan yang berpotensi terjadi korupsi. Dalam pasal 27 ayat 1 misalnya terkait biaya yang telah dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi ini bukanlah merupakan kerugian negara. Termasuk di dalamnya, kebijakan di bidang perpajakan, keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional.
"Ada indikasi kalau Perppu ini dirancang dan dimanfaatkan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi virus corona berasal dari pajak dan keringat rakyat. Ada kesan Perppu itu menegakkan hukum dengan melanggar hukum", ujar Nasir seperti yang dikutip lewat postingan akun instagramnya.
Dirinya heran, kenapa ketentuan seperti itu bisa lolos dalam Perppu. Padahal dalam menjalankan kebijakannya, pejabat pemerintah diharuskan mengutamakan prinsip kehati-hatian. Bagaimana mungkin ada ketentuan hukum yang sekaligus berfungsi sebagai hakim.
"Ini sangat bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016, jelas menyebutkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya institusi yang menilai adanya kerugian negara dan besarannya", lanjutnya.
Disamping itu, pasal 59 ayat 1 UU Perbendaharaan Negara juga mengatur bahwa kerugian negara dapat terjadi karena kelalaian pejabat negara. Adanya pasal kebal hukum itu, tentu akan meloloskan pejabat yang terindikasi koruptif saat menerapkan kebijakannya dalam mengatasi virus corona.
Dikatakan Nasir, ketentuan pada ayat 2 itu juga absurd karena di dalam ayat ini ada kalimat yang berbunyi "Tidak dapat dituntut maupun dipidana jika dalam melaksanakan tugas yang didasarkan pada iktikad baik".
Yang bisa menilai iktikad baik atau bukan Lanjutnya, itu adalah penegak hukum. Termasuk apakah itu sifatnya diskresi atas suatu tindakan yang bisa menyelamatkan bangsa, namun bukan berarti tidak bisa disentuh oleh hukum", tegas politisi dapil II asal Aceh itu.
Nasir juga menyebut UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang membatasi diskresi atau tindakan tersebut, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.
Saat ini, sudah ada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), yang menyebutkan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dalam hal ini keadaan bahaya seperti bencana alam.
"Itu ancaman hukumannya pidana mati. Perppu ini telah berfungsi seperti tembok besi yang menghalangi penerapan pasal hukuman mati itu," sebutnya.
Nah, dalam ayat 3 Perppu tersebut. Dimana keputusan yang diambil tidak bisa digugat dan menjadi objek TUN. Ketentuan jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 tentang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam Undang-Undang itu dijelaskan apa yang dimaksud dengan keputusan tata usaha negara. Keputusan yang diambil terkait dengan pandemi virus corona pasti keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit , individual, dan final.
"Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden, meminta agar ketentuan penutup dalam Perppu tersebut segera dikoreksi. Presiden harus waspada dengan ketentuan yang bersifat jebakan dan terkesan kebal hukum", tutup Nasir Djamil.
Pasal 27 dalam Perppu yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona ternyata memberikan keistimewaan kepada pejabat tertentu untuk kebal hukum.
Padahal prinsipnya adalah "Equality Before The Law" atau setiap orang sama di hadapan hukum.
Nasir mengkritik ketentuan penutup Perppu yang cendrung menjadi alasan pembenar dilakukannya tindakan yang berpotensi terjadi korupsi. Dalam pasal 27 ayat 1 misalnya terkait biaya yang telah dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi ini bukanlah merupakan kerugian negara. Termasuk di dalamnya, kebijakan di bidang perpajakan, keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional.
"Ada indikasi kalau Perppu ini dirancang dan dimanfaatkan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi virus corona berasal dari pajak dan keringat rakyat. Ada kesan Perppu itu menegakkan hukum dengan melanggar hukum", ujar Nasir seperti yang dikutip lewat postingan akun instagramnya.
Dirinya heran, kenapa ketentuan seperti itu bisa lolos dalam Perppu. Padahal dalam menjalankan kebijakannya, pejabat pemerintah diharuskan mengutamakan prinsip kehati-hatian. Bagaimana mungkin ada ketentuan hukum yang sekaligus berfungsi sebagai hakim.
"Ini sangat bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016, jelas menyebutkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya institusi yang menilai adanya kerugian negara dan besarannya", lanjutnya.
Disamping itu, pasal 59 ayat 1 UU Perbendaharaan Negara juga mengatur bahwa kerugian negara dapat terjadi karena kelalaian pejabat negara. Adanya pasal kebal hukum itu, tentu akan meloloskan pejabat yang terindikasi koruptif saat menerapkan kebijakannya dalam mengatasi virus corona.
Dikatakan Nasir, ketentuan pada ayat 2 itu juga absurd karena di dalam ayat ini ada kalimat yang berbunyi "Tidak dapat dituntut maupun dipidana jika dalam melaksanakan tugas yang didasarkan pada iktikad baik".
Yang bisa menilai iktikad baik atau bukan Lanjutnya, itu adalah penegak hukum. Termasuk apakah itu sifatnya diskresi atas suatu tindakan yang bisa menyelamatkan bangsa, namun bukan berarti tidak bisa disentuh oleh hukum", tegas politisi dapil II asal Aceh itu.
Nasir juga menyebut UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang membatasi diskresi atau tindakan tersebut, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.
Saat ini, sudah ada Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), yang menyebutkan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dalam hal ini keadaan bahaya seperti bencana alam.
"Itu ancaman hukumannya pidana mati. Perppu ini telah berfungsi seperti tembok besi yang menghalangi penerapan pasal hukuman mati itu," sebutnya.
Nah, dalam ayat 3 Perppu tersebut. Dimana keputusan yang diambil tidak bisa digugat dan menjadi objek TUN. Ketentuan jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 tentang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam Undang-Undang itu dijelaskan apa yang dimaksud dengan keputusan tata usaha negara. Keputusan yang diambil terkait dengan pandemi virus corona pasti keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit , individual, dan final.
"Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden, meminta agar ketentuan penutup dalam Perppu tersebut segera dikoreksi. Presiden harus waspada dengan ketentuan yang bersifat jebakan dan terkesan kebal hukum", tutup Nasir Djamil.